Minggu, 03 Juni 2012

PENGANTAR UJI DIAGNOSTIK

Pendahuluan
Pada masa lalu diagnosis penyakit ditegakkan semata-mata dengan pemeriksaan klinis, yang banyak menyababkan kesalahan diagnosis. Kemudian berkembang berbagai pemeriksaan penunjang atau uji diagnostik, mulai dari pemeriksaan laboratorium sederhana sampai pemeriksaan pencitraan yang canggih. Tidak dapat dipungkiri bahwa kita memerlukan berbagai jenis uji diagnostik untuk menegakkan diagnosis pada sebagaian besar kasus.
Memilih pemeriksaan diagnostik yang tepat tidak selalu mudah. Uji diagnostik dapat dilakukan secara bertahap (serial) atau sekaligus beberapa uji diagnostik (paralel). Pada uji diagnostik serial, pemeriksaan dilakukan secar bertahap ; perlu atau tidaknya pemeriksaan selanjutnya ditentukan oleh hasil uji sebelumnya misalnya, untuk diagnosis tuberkulosis paru, foto toraks baru perlu dikerjakan bila hasil uji tuberkulin positif. Pada uji paralel, beberapa pemeriksaan dilakukan sekaligus, hal ini biasa dilakukan pada kasus yang memerlukan diagnosis cepat contohnya, pada pasien dengan kesadaran menurun, perlu dilakukan segera pemeriksaan terhadap gula darah, ureum, serta funduskopi. Dikenal pula pembagian uji diagnostik berdasar pada kegunaannya misalnya untuk skrining, memastikan diagnosis atau menyingkirkan diagnosis, memantau perjalanan penyakit, menentukan prognosis dan lain-lain. Perbedaan kegunaan tersebut menyebabkan perbedaan karakteristik uji diagnostik yang dipakai Uji diagnostik yang ideal jarang sekali ditemukan, yaitu uji yang memberikan hasil positif pada semua subyek yang sakit dan memberikan hasil negatif pada subyek yang sehat. Hampir pada semua uji diagnostik terdapat kemungkinan untuk diperoleh hasil uji positif pada subyek yang sehat (positif semu, false positif), dan hasil negatif pada subyek yang sakit (negatif semu, false negatif).
Interpretasi hasil uji diagnostik dipengaruhi pula oleh berbagai hal, terutama prevalens penyakit dan derajat penyakit pada wktu uji diagnostik dilakukan. Adalah tugas kita pula untuk menginterprestasi hasil suatu uji diagnostik, apakah memang sesuai untuk pasein kita? Sebagai seorang klinikus adalah tugas kita pula untuk menilai publikasi mengenai uji diagnostik baru. Apakah penelitian tersebut dilaksanakan dengan baik dan hasilnya memang laik untuk diterapkan? Dalam makalah ini diuraikan manfaat, prinsip dasar, dan langkah-langkah yang diperlukan dalam melakukan suatu uji diagnostik, serta interprestasi hasil uji diagnostik. Dikemukakan pula satu contoh uji diagnostik sederhana.



TUJUAN UJI DIAGNOSTIK
Pengembangan uji diagnostik dapat mempunyai beberapa tujuan, termasuk ;

  1. Untuk menegakkan diagnosis penyakit atau menyingkirkan suatu penyakit, Untuk keperluan ini, uji diagnostik haruslah sensitif, sehingga bila didapatkan hasil normal dapat digunakan untuk menyingkirkan adanya suatu penyakit. Ia juga harus spesifik, sehingga bila hasilnya abnormal dapat digunakan untuk menentukan adanya penyakit. 
  2. Untuk keperluan skrining. Skrining dilakukan untuk mencari subyek yang asimtomatik, sehingga dapat dilakukan pemeriksaan lanjtan agar diagnosis dini dapat ditegakkan. Agar uji diagnostic dapat dipakai sebagai alat skrining maka harus dip[enuhi beberapa criteria, yakni

  •    Prevalensi penyakit harus cukup tinggi, meskipun kata tinggi ini relative
  • Penyakit tersebut menunjukan morbiditas atau mortalitas yang bermakna apabila tidak diobati
  • Harus ada pengobatan yang efektif untuk mengubah perjalan penyakit
  • Pengobatan dini harus menunjukkan manfaat yang lebih bila dibandingkan dengan pengobatan terhadap kasus yang lanjut atau simtomik.

Contoh skrining yang baik adalah uji tuberkulin pada anak, keempat syarat tersebut terpenuhi, karena prevalens tuberculosis di Indonesia tinggi, apabila tidak diobati akan menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang bermakna, terdapat pengobatan yang efektif, dan pengoabatan dini memberikan hasil yang jauh lebih menarik. Di banyak Negara, skrining ini juga dilaksanakan terhadap hipotiroidisme pada bayi baru lahir, meskipun prevalensinya, dipandang dari kacamata kita, tidak terlalu tinggi.
Contoh skrining yang tidak layak dilaksanakan adalah foto toraka untuk mendeteksi kanker paru;sebab meskipun misalnya prosedur tersebut sensitive,namun bila kanker paru sudah terdeteksi dengan foto rontgen, pengobatan dini tidak memberikan kesembuhan yang lebih baik.\

       3.  Untuk pengobatan pasien. Dalam pengobatan pasien, uji diagnostic seringkali dilakukan 
            berulang-ulang untuk:
  • Memantau progresi penyakit
  • Mengidentifikasi komplikasi
  • Mengetahui kadar terapi suatu obat
  • Menetapkan prognosis
  • Mengkonfirmasi suatu hasil pemeriksaan yang tak diduga
Untuk kepentingan ini, reprodusibilitas suatu uji diagnostic sangat penting artinya bila suatu uji dilakukan terhadap subyek yang sama pada waktu yang sama haruslah member hasil yang sama pula.


     4.   Untuk studi epidemiologic. Uji diagnostic sering dilakukan untuk melakukan studi epidemiologic. 
           Suatu uji diagnostic yang memberikan hasil positif (ada penyakit) atau negative (tidak ada penyakit), 
           sering dipakai dalam survai untuk menentukan prevalens suatu penyakit. Dalam studi kohort, uji 
           diagnostic dapat merupakan alat untuk menentukan terjadinya suatu penyakit atau efek tertentu, 
           hingga dapat dihitung incidence rate-nya. Kedua hal tersebut sering mempunyai nilai penting dalam 
           kesehatan masyarakat, untuk menentukan kebijakan, misalnya apakah diperlukan intervensi tertentu 
          untuk mencegah atau menanggulangi suatu penyakit


 

Oleh : Hardiono D Pusponegoro, I G N Wila Wirya, Anton H Pudjiadi, Julfina Bisanto, Siti Z Zulkarnain













0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan cantumkan alamat email atau CP anda jika ingin komentar dan tertarik untuk mengikuti pelatihan statistik, agar secepatnya dapat kami jawab pertanyaan anda. Terima kasih sebelumnya.